Sabtu, 14 November 2015

KAKTUS, MALAM, DAN CERITA KERINDUAN

Sudah tiga bulan terakhir ini aku pasti selalu terjaga di sepertiga malam dengan kebiasaan baru membantu istriku menyusui bayi kami yang menangis karena kelaparan atau terganggu tidurnya karena ngompol. Selama itu juga kamu selalu siap menemaniku melepas penat sesaat karena aku tidak langsung mendapati rasa kantukku kembali dengan segera. Kamu selalu dengan penuh kesabaran seperti bintang-bintang di langit cerah disana menemani malam.
Oh iya, aku belum pernah memperkenalkan diriku dan aku yakin kamu juga tidak pernah mendengan namaku karena istriku selalu memanggilku dengan sebutan ‘mas’. Rasanya sangat gila, tapi ini benar terjadi, aku memperkenalkan diriku kepada sebuah pohon kaktus dan ini pertama kali terjadi dalam hidupku.
Namaku Mario. Aku seorang ayah muda dari bidadari kecilku yang seperti mata air pertama yang kau temukan ketika di padang pasir, terasa menyejukkan hati menghapus kelelahan dan kepenatanku setiap hari sepulang kerja. Aku adalah seorang suami dari istriku yang aku kenal enam tahun yang lalu di sebuah kampus yang mempertemukan kami berdua. Dan aku adalah seorang teman yang merindukan teman-teman seperjuangan selama masa kuliah dulu.
Aku duduk di sebuah kursi goyang di teras belakang rumah yang aku kontrak setelah menikah dengan Rani, istriku. Tepat di hadapanku, di atas pagar setinggi pinggang orang dewasa yang menjadi pembatas teras dan halaman terdapat sebuah kaktus kecil dalam pot hadiah dari Rani untuk ulang tahunku terakhir lalu. Dan tanpa aku ketahui kapan awalnya, sekarang kaktus tersebut menjadi teman setia yang mau mendengarkan curahan hatiku.
Angin kecil berhembuskan hawa dingin namun tidak dapat menembus ketebalan jaketku. Hanya mampu membawa pergi jauh kepulan asap rokokku sejauh anganku kembali ke masa lalu. Mengikuti alur itu, mataku menutup perlahan dengan sendirinya menguatkan otakku menghambarkan masa-masa sebelum sekarang.
Aku tersenyum, membuka mata mendapati langit cerah penuh bintang. Sayangnya aku tidak ahli dalam perbintangan jadi tidak dapat menamai gugusan bintang yang terlihat membentang di selatan itu.
“Kau tau, kira-kira apa yang sedang teman-temanku lakukan sekarang?” aku bertanya pada kaktus bulat berduri halus tanpa cabang di depanku.
Dia diam tidak bersuara namun aku yakin dia mendengarnya.
Aku menghisap rokokku dengan dalam tanpa berharap akan mendapat jawaban dari kaktus itu karena aku yakin dia tidak tahu bahkan temanku yang mana saja juga pasti dia tidak tahu karena belum pernah sekalipun aku mengundang mereka ke rumah kontrakanku ini.
Bibirku menyungging, menyimpulkan tawa kecil yang tidak simetris sisi –sisinya.
“Sama, aku juga tidak tahu keadaan mereka.”
Setelah lulus kuliah dan mendapatkan pekerjaan di sebuah bank swasta, aku bertekad fokus untuk mengumpulkan uang sebagai biaya pernikahanku bersama Rani. Aku seperti memanjat sebuah tebing tanpa menggunakan tali sedikit demi sedikit mengumpulkan uang. Penuh pengorbanan.
“Dasar artis sialan.” aku mengutuk seorang artis yang waktu itu melangsungkan pernihakan mewah dan ditayangkan secara intens di salah satu stasiun televisi swasta.
“Kamu tahu,?” aku meraih pot kaktus dan mendekatkan kewajahku agar dia dapat lebih jelas mendengarkanku, “sejak saat itu calon mertuaku menjadikannya patokan buat pernikahan anak perempuan satu-satunya yang aku pacari.”
Aku harus kerja banting tulang dari pagi hingga malam dan mengorbankan waktuku. Waktu untuk menjalin komunikasi dengan teman-temanku. Handphone yang menjadi alat pendekat jarak dengan mereka pun juga ikut aku jauhi karena memang kurang waktu untuk itu. Aku pikir sepulang kerja dapat menyapa mereka namun aku terlalu lelah. Ah, lain waktu saja aku menghubungi mereka, pikirku.
Kaktus yang aku genggam setia dalam diam namun aku juga setia pada kepercayaanku bahwa dia sedang mendengarkanku.
Oke, oke. Akhirnya aku menikah namun harapanku akan memiliki banyak waktu untuk teman-temanku sirna. Kau tahu, aku memang sudah tidak dikejar untuk mengumpulkan uang biaya pernikahan, tapi pemenuhan biaya yang lain siap menyapaku.
Aku menghisap rokokku yang ternyata sudah habis. Aku menghembuskan sedikit asap yang berhasil aku hirup lalu membuang puntung rokokku.
“Aku mungkin sudah jadi gila kalau aku tidak memiliki tuhan.”
Rani berhenti bekerja setelah menikah yang artinya aku sendiri yang menanggung biaya hidup kami berdua. Biaya mengontrak rumah ini, ah kamu pasti tidak tahu karena ketika aku membayar kontrakan ini dulu kamu belum berada disini.
Aku sangat beruntung karena aku cepat dikaruniai momongan di bulan kesebelan usia pernikahanku bersama Rani. Seperti koin yang memiliki dua sisi, sisi lain dari kebahagiaan yang aku dapatkan malah semakin menjauhkan komunikasiku bersama teman kuliah yang aku rencanakan akan aku bangun kembali setelah menikah dulu.
“Kamu sudah melihatnya sendiri kan,” aku tak mengharapkan jawaban, lalu melanjutkan, “sepulang kerja aku langsung bercengkerama bersama Manila, putriku.”
“Bahkan di tengah malam seperti inipun tidak ada hal lain selain Manila.”
Aku meletakkan kembali kaktusku.
Aku berpikir sendiri bahwa aku terlalu egois menceritakan kesepian dan kerinduanku kepada teman-temanku tanpa mempertimbangkan perasaan kaktusku.
Aku bertanya, “Apakah kamu juga meraskan kesepian?”
Kaktusku tidak menjawab.
“Apakah kamu merindukan teman-temanmu ketika masih di toko bunga dulu?”
Angin dingin berhembus menerpa mukaku.
“Apakah kamu ingin tahu apa yang sedang dilakukan teman-teman kamu dan dimana mereka tinggal sekarang?”
Aku semakin merasa tidak waras namun tiga bulan terakhir ini aku selalu mengajak kaktusku berbicara.

“Mas.., Mas,” aku mendengar Rani memanggilku setelah terlebih dahulu suara tangisan Manila menerobos gendang telingaku.
Aku bangkit dari kursi goyang dan meninggalkan kaktusku dalam kesepian dan kesendirian yang sangat nyata di bawah selimut angkasa malam menjelang pagi.